WANGI Indrya (40). dalang wayang kulit asal Indramayu ini sesekali menycka air mata yang meleleh dipipi ketika bercerita pahitnya hidup tersingkir dari kehidupan sosial, sejak sang ayah ditangkap aparat atas tuduhan terlibat aktivitas Partai Komunis Indonesia (PKD.
Wangi mengisahkan suatu hari gurunya di SD (Sekolah Dasar) mengatakan ia tidak dapat lagi bersekolah karena ayahnya anggota PKL Ucapan sang guru yang juga didengar kawan-kawan sekelas membuat Wangi lantas dijauhi dan dikucilkan dari pergaulan.
Wangi tidak sendiri, di Bali seorang seniman Nyoman (nama samaran) melihat ayahnya dibu nuh atas tuduhan terlibat akti vitas PKL Ada pula Wayan Windra yang seluruh isi rumah nya dijarah, sementara sang ayah diseret keluar dari pura dan dibantai aparat, juga kisah tentang seniman ketoprak asal Yogyakarta Bondan Nusantara yang dikeluarkan dari SMP karena ibunya dituduh anggota organisasi terlarang.
Kisah hidup anak-anak yang tcrdiskriminasi karena orang tua mereka menjadi korban Tragedi Kemanusiaan 1965/1966 ini terangkum dalam sebuah film dokumenter berjudul "Tumbuh Dalam Badai". Film ini digarap oleh sutradara IGP Wiranegara bersama anggota kelompok pekerja seni yang tergabung di Lembaga Kreativitas Kemanusiaan (LKK).
Sung produser. Pulu Oka Sukanta mengungkapkan film Tni merupakan produksi ketiga LKK. "Tumbuh Dalam Badai" dikerjakan dengan dana sekitar Rp60 juta dalam jangka waktu sekitar dim tahun.
"Film ini dibual bukan untuk menguak kesedihan, tetapi cerminan agar kehidupan di masadepan hal semacam ini tidak terjadi. Bagi Wangi dan kawan-kawannya, menuturkan pengala man mereka sesungguhnya merupakan terapi bagi jiwa yang trauma." ujar Oka yang juga sastrawan kelahiran Bali, 1939.
Bergulirnya kisah para tokoh dalam film ini sangat ringan dan tidak cengeng, meski mengisahkan kesedihan. Di sinilah sutra dara Wiranegara memegang peranan besar.
Alumni Fakultas Film dan TV IKJ ini memutar balik ingatan penonton ke era 1965/1966 melalui kisah Wangi dan ketika kawannya itu.
Pria berambut panjang scbahu ini berhasil membuat film dokumenter menjadi ringan dan mudah dicerna. Ia juga secara halus dapat mengolah cerita kesedihan yang diungkap para tokoh men jadi sebuah fakta yang bergulir, mengalir begitu saja, tidak cc ngcng. atau bertujuan menguras air mau penontonnya.
Kepiawaian Wiranegara memang tidak perlu diragukan dalam menggarap film dokumenter. Ia (elah menghasilkan sejumlah film dokumenter seperti "Pakubuwono XII. Berjuang Untuk Sebuah Eksistensi", "Menyemai Terang dalam Kelam", dan "Meniti Buih Gelombang Tsunami". Pada Festival Film Indonesia 2005 lalu, filmnya "Pakubuwono XII" berhasil menyabet Piala Citra untuk kategori film dokumenter terbaik.
"Saya membual film ini bukan untuk menguras air mata penonton, tapi saya ungkap kenyataan hidup mereka untuk mewakili suara-suara hati orang-orang yang memiliki kesamaan penga laman dengan Wangi dan kawan-kawan. Keterwakilan ini semoga membikin lara hati mereka terobati," ujarnya.
Kesenian
Dikisahkan dalam film berdurasi satu jam itu, kehidupan yang terpinggirkan dari lingkungan sekitar membuat mereka tumbuh menjadi anak-anak yang berhati kuat, pantang menyerah, dan bertahan hidup dengan mengembangkan diri menjadi manusia baru.
Dunia kesenian yang lekat dalam jiwa para tokoh ini seolah menjadi pengobat lara hati mereka. Wangi sejak kecil telah dikenalkan pada dunia pewayangan oleh ayahnya yang berprofesi sebagai dalang wayang kulit Bagi Wangi, berkcsenian tidak hanya menjadi pclipur lara, tapi juga sarana pembelajaran agar menjadi manusia yang lebih arif.
Ibunda Bondan. Ny Kadari-yah. adalah primadona ketoprak di Yogyakartapada 1960-an. Darah seni Bondan mengalir dari sang ibu, sehingga ketika ia putus sekolah dan tak memiliki uang sepeserpun. Bondan menerjuni dunia ketoprak sebagai pemain, penulis naskah, hingga suatu hari ia bisa menembus pentas inter nasional.
"Saya memilik hidup berkese nian karena mau apa lagi, pada waat ibu saya dipenjara saya dikeluarkan dari sekolah, hidup numpang di sana-sini, dan tidak punya uang. Ternyata jalan yang saya pilih tidak salah," katanya.
Bagi Bondan, berkesenian membikin jiwanya tcrasah lebih peka dan dapat berempati dengan orang lain. Melalui kesenian ia menyampaikan pesan-pesan positif pada masyarakat tentang bagaimana hidup saling meng hormati dan menghargai.
"Awalnya pasti sedih menjalani, tapi saya tidak putus asa. Saya ingin tunjukan pada semua orang bahwa anak seorang tapol dan dituduh terlibat IM ternyata bisa berbuat sesuatu yang positif bagi masyarakat, bisa bcrpres tasi, dan membawa nama baik negara," ujar Bondan yang di awal karirnya berpentas dari kampung ke kampung.
Nyoman yang sampai sekarang belum berani menunjukkanidentitasnya sebcn#nya sebagai anak bekas tapol juga menemukan rasa tenang dan nyaman dengan berkesenian. Sesekali Nyoman masih mengalami ketakutan yong luar biasa ketika terbangun dari tidur karena terbayang pengalaman masa kecilnya yang buruk.
"Saya melihat sendiri ketika ayah saya diseret keluar dari pura. Beberapa penduduk menu tup mata saya agar tidak melihat beliau dibantai dan dibunuh," ujar Wayan dnegan suara parau.
Setelah pembantaian itu, hati Wayan semakin .sakit melihat ayahnya tewas dalam posisi jenazah terkelungkup di tanah. Tidak ada tetangga sekitar rumah yang berani menolong Wayan dan sang ibu karena khawatir mereka dianggap anggota PK1.
"Saya tahu orang-orang yang membantai itu sengaja meletak kan jenazah ayah terkelungkup di tanah. Dalam kepercayaan orang Bali, dengan posisi itu arwahnya tidak akan bisa sampai ke sisi Sang Hyang Widhi. Itulah mengapa saya sangat sedih." tambahnya.
Menyentuh
"Tumbuh Dalam Badai" menggabungkan gambar-gambar nyata berisi keseharian para tokoh dengan gambar-gambar ilustrasi berwarna hitam putih yang digarap Gumelar Demo karsono.
Gambar ilustrasi itu menggam barkan cerita yang disampaikan oleh masing-masing tokoh. Dengan gambar-gambar yang unik menggunakan pensil hitam itu tidak terlihat kasar dan sadis meski sebenarnya kisah yang diungkapkan para tokoh itu menyakitkan.
Soal memadukan gambar nyata dan gambar ilustrasi, nama Sastha Sunu yang bekerja di belakang perangkat editing tampaknya tidak perlu diragukan lagi. Kerja keras Sastha benar-benar memanjakan mata penonton dengan perpad.uan gambar yang halus, ini menjadi sesuatuyang menjadi kelebihan, sebab biasanya film-film dokumenter seringkali lemah dalam editing.
Alumni Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini bukan nama baru di dunia perfilman Indonesia. Ia sudah mengerjakan editing latih dari 20-an film layar lebar. Sastha juga mendapat kepercayaan dari sutradara Nan T Achnas untuk menggarap editing filmnya "The Photograph". Film ini kemudian berhasil meraih penghargaan kategori "Editing Terpilih" dalam Festival Film Jakarta 2007.
Dalam pemutaran perdana film ini di Goethe Haus perte nganan Januari lalu, "Tumbuh Dalam Badai" mendapat tangga pan positif dari berebagai pihak. Tanggapan yang bermunculan terutama tentang temanya yang menyentuh dan penggarapan produksi filmnya yang sangat kreatif.
"Ada energi positif yang membuat saya nyaman melihat film ini. Saya melihat para tokohnya menuturkan dengan sedih, tapi sesungguhnya mereka sedang memberi kita motivasi bahwa keterpurukan dalam hidup tidak perlu ditangisi, lapi harus berani melakukan sesuatu untuk mengubah hidup mereka itu." ujar Kiki, dari Departemen Komuni kasi FISIP Universitas Indonesia.
Seorang penonton lain. Gi-lang, mengaku tersentuh hatinya setelah menyaksikan film terse but. Sebagai anak mantan tapol Gilong mengakui selama ini takut untuk mengakui bahwa bapak nya pernah dipenjara tanpa diadili hingga bertahun-tahun lamanya atas tuduhan terlibat dalam PKL
"Saya melihat Mbak Wangi dan tokoh yang lain tidak malu mengakui siapa identitas bapak nya.
Sekarang mata hati saya rasanya mulai terbuka dan mung kin suatu saat nanti saya mem punyai keberanian yang sama dengan mereka untuk mengakui siapa sebenarnya ayah saya," demikian ujar Gilang.
- Home
- entertainment
- gaya hidup
- Lara Hati yang Tumbuh dalam Badai
Lara Hati yang Tumbuh dalam Badai
Related Posts
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Comments